Dadang S. Anshori
Pemahaman guru mengenai hakikat pengajaran dan pembelajaran bahasa
serta kemampuan guru dalam mengguanakan model, pendekatan, metode, dan strategi
pengajaran menentukan luas ruang yang diberikan guru pada para siswanya. Guru
harus menggunakan perangkat pengajaran sebagai “senjata” di ruang kelas
sehingga mampu memperdayakan seluruh potensi bahasa siswa dan menggerakan semua
sumber kreativitas berbahasa para siswanya.
Keluhan seputar pengajaran bahasa Indonesia yang dipandang kurang
menarik, monoton, membosankan, kurang bermanfaat hingga dianggap mudah karena
keseharianya masyarakat kita banyak menggunakan bahasa Indonesia di dalam
kelas. Tentu saja, pengajaran meengandalkan lembaran kerja siswa, tugas yang
tanpa arahan, ceramah terus-menerus, bukan teknik yang dapat menarik perhatian
siswa. ketidakmampuan para siswa menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan
dipasok oleh lemahnya guru dalam penyajian pengajaran menulis secara menarik.
Padahal kegiatan menulis sebagai bagian superbraind yang harus dimiliki
generasi muda yang hendak suskses di masa mendatang.
Putu Wijaya menyatakan ketika menjelaskan kondisi pengajaran sastra
di sekolah, pengajaran bahasa pun tidak ubahnya semacam rumah sederhana yang
cocok untuk etalase laporan administrasi, bahwa sudah dilaksanakanya
pembangunan. Namun, ketika ditanyakan kepada para penghuninya, tak seorangpun
dapat hidup tenang di dalam penjara yang mirip kotak-kotak burung dara. Berbeda
dengan rumah-rumah liar yang tak terencana di tepi sungai atau sepanjang rel
kereta api di stasiun. Walau bentuknya tidak karuan, tetapi rumah-rumah itu
benar-benar menjadi sarang bagi penghuninya. Bentuk dan keindahannya tak
direncanakan, tetapi tercipta berdasarkan kebutuhan penghuninya(Putu Wijaya,
2007 [online] tersedia: http://putuwijaya.wordpress.com/2007/11/03/pengajaran-sastra/)
Apabila kita lihat fenomana berbahasa manakah yang menjadi bukti
bahwa pengajaran bahasa Indonesia sudah berhasil, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Fakta menunjukan bahwa nilai UN secara nasional rendah, belum lagi tanda-tanda
yang sifatnya kuantitatif: kemampuan menulis, kemampuan membaca, kemampuan
berbicara, dan kemampuan menyimak yang juga masih memprihatinkan. Apalagi
apabila kita melihat tujuan pengajaran bahasa, misalnya di jenjang SMA: (1) berkomunikasi secara
efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku baik secara lisan maupun
tertulis; (2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu dan bahasa negara; (3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya
dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; (4) Menggunakan bahasa
Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual , secara kematangan
emosional dan sosial; (5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk
memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan berbahasa; dan (6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia
sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Tanpa menghakimi
semua yang telah kita lakukan, manakah dari tujuan-tujuan di atas yang berhasil
kita wujudkan?
Sekedar menguatkan argumentasi di atas berdasarkan laporan pihak
lain perlu kita cermati, laporan PISA (2000) tentang membaca. Selain negara
OECD, PISA juga melibatkan negara-negara mitra, di antaranya Indonesia dengan
10.000 siswa berpartisipasi. PISA mengklasifikasi pencapaian siswa dalam
berbagai tingkatan, yaitu lima untuk membaca dan masing-masing enam untuk
matematika dan sains. Kemampuan membaca pada tingkatan lima mencakup: kemampuan
menemukan dan menggunakan informasi yang sulit didapat dalam wacana yang asing.
Pada tingkatan satu, siswa dapat menemukan sepotong informasi, mengidentifikasi
tema utama suatu wacana, atau membuat kaitan sederhana dengan pengetahuan
sehari-hari. Dalam hal membaca, siswa Indonesia, 0,1% mencapai tingkat lima,
hampir 60% berada pada tingkatan satu ke bawah, termasuk 21,8% di bawah
tingkatan satu.
Kita dapat berpolemik dalam “menghakimi” apakah pengajaran sebuah
bahasa sudah berhasil atau tidak. Namun apapun motifnya, refleksi terhadap
pengajaran bahasa selama ini tentu lebih berguna daripada membiarkan semua yang
telah kita perbuat tanpa ada kritisi dan koreksi. Hal ini terjadi bukan pada
mata pelajaran bhs Indonesia saja, namun mata pelajaran lain yang kegagalannya
nyaris sama.
Pengajaran bahasa dilakukan dalam rangka melahirkan
pembelajar-pembelajar yang memahami bagaimana tugas belajar sehingga mereka
dapat belajar secara baik. Namun demikian, menurut Harmer (1998) membelajarkan
para siswa bukan pekerjaan mudah, banyak kesulitan yang ditemui pembelajar,
baik dipengaruhi faktor bagaimana pengalaman belajar para siswa, bagaimana
keadaan mereka diruang kelas, bagaimana variasi metode yang digunakan untuk
menangani siswa yang berbeda, masing-masing siswa mempunyai keunikan dalam
proses pembelajaran.
Tugas guru tidak mudah, dia tidak hanya menyampaikan atau
mentransfer materi ajar kepada para siswanya. Ada juga tugas yang lebih utama,
yakni membangun pribadi pembelajaran yang memahami bagaimana dia harus belajar.
Pembelajaran bahasa Indonesia yang baik akan memetakan seluruh potensi agar ia
sukses belajar. Hamer(1998:8) menyebutkan bahwa seorang guru bahasa hendaknya
menjadi penebar inspirasi dan menjadi oxase di tengah kekeringan semangat para
siswanya.
Secara detail Harmer (1998:10) menerjemahkan secara rinci karakter
pembelajaran yang baik berikut ini.
1.
Memiliki
kemauan untuk mendengar (a willingness to listen)
2.
Memiliki
kemauan untuk mencoba (a willingness to experiment)
3.
Memiliki
kemauan untuk bertanya (a willingness to ask questions)
4.
Memiliki
kemauan untuk berfikir tentang cara belajar (a willingness to think about how
to learn)
5.
Memiliki
kemauan untuk menerima perbaikan (a willingness to accept correction)
Karakteristik
harusnya dimiliki oleh pembelajar bahasa apabila ia menghendaki kesuksesan
dalam belajar bahasa.
Metodologi
Pengajaran Bahasa
Pembelajaran bahasa dari waktu ke waktu mengalami perkembangan,
baik dalam aspek model, pendekatan, metode, strategi, kurikulum, dan sistem
evaluasi. Pembelajaran bahasa juga memadukan antara teori dan praktik. Dalam
perkembanganya, menurut Stern(1992:11) muncul dua teori mutakhir, yakni teori
eklektik (eclecticism) dan teori pembelajaran komunikatif. Kompetensi komunikatif
terdiri atas kompetensi gramatikal, kompetensi wacana, kompetensi fungsional,
kompetensi sosiolinguistik, dan kompetensi strategis. Kedua hal ini disandarkan
pada argumen bahwa tujuan pembelajaran bahasa agar siswa mampu berkomunikasi
baik secara lisan maupun tertulis.
Berkaitan dengan pentingnya ruang kreatif, metodologi pembelajaran
bahasa yang diyakini para guru, baik dalam bentuk model, pendekatan, metode,
dan strategi hendaknya dipilih yang mempertimbangkan aspek ruang kreatif dan
tersedianya kesempatan para siswa untuk berkreatifitas dalam berbahasa.
Pembelajaran bahasa kreatif menekankan keterlibatan siswa secara intelektual
dan emosional dalam pembelajaran di dorong untuk menemukan/ mengkonstruksi
sendiri konsep yang sedang dikaji melalui penafsiran yang dilakukan dengan
berbagai cara, seperti observasi, diskusi, atau percobaan yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk bertanggung jawav menyelesaikan tugas bersama.
Pembelajaran kreatif merupakan model yang dikembangkan dengan
mengacu pada berbagai pendekatan pembelajaran yang diasumsikan mampu
meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. Pendekatan tersebut: belajar
aktif, kreatif, konstruktif, kolaboratif dan kooperatif. Karakteristik penting
dari setiap pendekatan tersebut diintegrasikan sehingga menghasilkan satu model
yang memungkinkan siswa mengembangkan kreativitas untuk menghasilkan produk
yang bersumber dari pemahaman mereka terhadap konsep yg sedang dikaji.
Pada dasarnya, kegiatan pembelajaran kreatif dibagi menjadi empat
langkah yaitu orientasi, eksplorasi, interpretasi, dan re-kreasi. Selain itu,
terdapat pendekatan pengajaran bahasa kontekstual, yakni pendekatan yang
mengaitkan pengajaran bahasa dengan pengetahuan, pengalaman, dan
masalah-masalah keseharian yang dihadapi siswa. Pendekatan kontekstual
mengandung tujuh pilar utama, yaitu konstruktivisme, inquiri, bertanya,
masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik(Nurhadi dkk.,
2003:31). Pendekatan kontekstual memungkinkan pengajaran bahasa memiliki makna
(meaningfull) dan dirasakan kebermanfaatanya dalam kehidupan para siswa.
Di samping itu, inti pengajaran bahasa Indonesia di Sekolah
sebagaimana diamanatkan dalam kurikulum 2006 adalah memberikan pengalaman
komunikasi secara alamiah. Kurikulum bahasa Indonesia juga memberikan arah
bahwa pembelajaran bahasa hendaknya berbasis wacana. Kemahiran wacana menjadi
sangat penting mengingat perkembangan pembelajaran bahasa di berbagai belahan
dunia mengarah pada peletakkan wacana sebagai posisi sentral.
Pendekatan yang lainya adalah pendekatan kooperatif. Alasan penting
mengapa metode kooperatif dikembangkan (Slavin, 2008:5) adalah bahwa para
pendidik dan ilmuan sosial telah lama mengetahui tentang pengaruh yang merusak
dari persaingan yang sering digunakan di dalam kelas. Sekalipun persaingan
tersebut bukan sesuatu yang salah, namun apabila tidak dijalankan dengan
menajem yang baik, persaingan akan menjadi motivator yang buruk. Pada
pembelajaran kooperatif para siswa akan dudukmbersama dalam kelompok yang
beranggotakan beberapa orang untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru.
Sehingga akan bermanfaat bagi mereka sebagai anggota masyarakat.
Beberapa metode pembelajaran yang termasuk dalam pembelajaran
kooperatif adalah pembelajarab tim siswa yang dikembangkan oleh John Hopkins
University (Slaving, 2008:10). Tiga konsep penting dalam PTS adalah penghargaan
bagi tim, tanggung jawab indovidu, dan kesempatan sukses yang sama. Tiga dari
lima prinsip dasar PTS dapat diadaptasikan
dalan semua mata pelajaran dan jenjang kelas, yakni STAD, TGT, Teka-Teki
II. Dua prinsip lainya dirancang untuk digunakan pada pelajaran khusus dan
kelas tertentu, yakni CIRC untuk pembelajaran bahasa dan TAI untuk pembelajaran
matematika (Slaving,2008:11)
Dalam STAD tim belajar terdiri dari empat orang berbeda tingkat
kemampuan, jenis kelamin, dan katar belakang etnik. Gagasan utama STAD adalah
untuk memotivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama
lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru. TGT pada mulanya
dikembangkan David DeVries dan Keith Edward. Metode ini menggunakan pelajaran
yang sama yang dikembangkan guru dan tim kerja yang sama seperti STAD, tetapi
menggantikan kuis dengan turnamen mingguan.
Zigsaw II adalah adaptasi dari teknik teka-teki Elliot Aronson
(1978). Dalam teknik ini siswa bekerja sama dengan anggota kelompok yang sama.
Yaitu empat orang yang berlatar belakang yang berbeda. Para siswa ditugasi
untuk membaca bab, buku kecil, dan materi lain. TAI memungkinkan para siswa
memasuki sekuen individual berdasarkan penempatan tes dan melanjutkannya dengan
tingkat kemampuan mereka sendiri. CIRC merupakan program kompherensif untuk
mengajarkan membaca dan menulis pada kelas sekolah dasar pada tingkat lebih
tinggi.
Metode pembelajaran kooperatif yang lainya adalah group
investigation yang dikembangkan oleh shlomo dan Yael Sharon dari Universitas
tel Aviv, Learning Together dari David dan Roger Johnson dari Universitas
Minnesote, Compleks Intruction dari elizabeth Cohen dari Universitas Standford
dan Stucture Dyadic Methods. Tipologi pembelajaran kooperatif yaitu tujuan
kelompok. Tanggung jawab individual, kesempatan sukses yang sama, kompetensi
tim, spesialisasi tugas dan adaptasi terhadap kebutuhan kelompok.
Kini juga berkembang metodologi pegajaran bahasa yang menekankan
pada kecakapan hidup. Beberapa ahli menyebutkan bahwa pengajaran bahasa harus
mendorong para siswa mengembangkan kecakapan dapat menjawab kebutuhan hidup di
masa mendatang. Kecakapan hidup yang dimaksud meliputi general skill dan specific
skill.
Brown (2001) menyebutkan bahwa hal tersulit yang dialami seorang
pengajar bahasa adalah menemukan strategi yang tepat agar siswa sukses belajar.
Oleh karena itu seorang guru harus memahami model, pendekatan, metode dan
teknik dalam pembelajaran bahasa.
Brown (2001) mengidentifikasi beberapa pendekatan bahasa yang sudah
sejak lama dipakai dalam pengajaran bahasa.
1.
Metode
penerjemahan
2.
Metode
seri
3.
Metode
langsung
4.
Metode
audiolingual
Disamping itu di identifikasikan beberapa metode yang lebih menekankan
pada aspek kognitif. Metode-metode tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Community
language learning
2.
Suggestopedia
3.
The
silent way
4.
Total
physical response
5.
The
natural approach
Dalam realisasi pembelanjaran bahasa, Brown (2001: 55-68)
menyodorkan beberapa prinsip yang secara umum dikelompokan menjadi tiga
kelompok besar yakni prinsip-prinsip kognitif, prinsip-prinsip afektif dan
prinsif-prinsif linguistik. Prinsip-prinsip yang ditawarkan Brown (2001) yang
tergolong dalam kelompok prinsip kognitif adalah keotomatisan, pembelajaran
yang bermakna, penyiapan penghargaan, motivasi instrinsik, investasi strategis.
Prinsip afektif menyodorkan prinsip pengajaran bahasa: ego bahasa, kepercayaan
diri, menanggung risiko. Sementara itu prinsip linguistik menyodorkan prinsip
pengajaran bahasa: efek bahasa ibu, antarbahasa, dan kompetensi komunikatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar