Total Tayangan Halaman








Rabu, 07 Maret 2012

RUANG KREATIF DALAM PEMBELAJARAN BAHASA (Rangkuman)



 Dadang S. Anshori
 
Pemahaman guru mengenai hakikat pengajaran dan pembelajaran bahasa serta kemampuan guru dalam mengguanakan model, pendekatan, metode, dan strategi pengajaran menentukan luas ruang yang diberikan guru pada para siswanya. Guru harus menggunakan perangkat pengajaran sebagai “senjata” di ruang kelas sehingga mampu memperdayakan seluruh potensi bahasa siswa dan menggerakan semua sumber kreativitas berbahasa para siswanya.
Keluhan seputar pengajaran bahasa Indonesia yang dipandang kurang menarik, monoton, membosankan, kurang bermanfaat hingga dianggap mudah karena keseharianya masyarakat kita banyak menggunakan bahasa Indonesia di dalam kelas. Tentu saja, pengajaran meengandalkan lembaran kerja siswa, tugas yang tanpa arahan, ceramah terus-menerus, bukan teknik yang dapat menarik perhatian siswa. ketidakmampuan para siswa menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan dipasok oleh lemahnya guru dalam penyajian pengajaran menulis secara menarik. Padahal kegiatan menulis sebagai bagian superbraind yang harus dimiliki generasi muda yang hendak suskses di masa mendatang.
Putu Wijaya menyatakan ketika menjelaskan kondisi pengajaran sastra di sekolah, pengajaran bahasa pun tidak ubahnya semacam rumah sederhana yang cocok untuk etalase laporan administrasi, bahwa sudah dilaksanakanya pembangunan. Namun, ketika ditanyakan kepada para penghuninya, tak seorangpun dapat hidup tenang di dalam penjara yang mirip kotak-kotak burung dara. Berbeda dengan rumah-rumah liar yang tak terencana di tepi sungai atau sepanjang rel kereta api di stasiun. Walau bentuknya tidak karuan, tetapi rumah-rumah itu benar-benar menjadi sarang bagi penghuninya. Bentuk dan keindahannya tak direncanakan, tetapi tercipta berdasarkan kebutuhan penghuninya(Putu Wijaya, 2007 [online] tersedia: http://putuwijaya.wordpress.com/2007/11/03/pengajaran-sastra/)
Apabila kita lihat fenomana berbahasa manakah yang menjadi bukti bahwa pengajaran bahasa Indonesia sudah berhasil, baik secara kuantitas maupun kualitas. Fakta menunjukan bahwa nilai UN secara nasional rendah, belum lagi tanda-tanda yang sifatnya kuantitatif: kemampuan menulis, kemampuan membaca, kemampuan berbicara, dan kemampuan menyimak yang juga masih memprihatinkan. Apalagi apabila kita melihat tujuan pengajaran bahasa, misalnya  di jenjang SMA: (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku baik secara lisan maupun tertulis; (2) menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dan bahasa negara; (3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; (4) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual , secara kematangan emosional dan sosial; (5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan (6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Tanpa menghakimi semua yang telah kita lakukan, manakah dari tujuan-tujuan di atas yang berhasil kita wujudkan?
Sekedar menguatkan argumentasi di atas berdasarkan laporan pihak lain perlu kita cermati, laporan PISA (2000) tentang membaca. Selain negara OECD, PISA juga melibatkan negara-negara mitra, di antaranya Indonesia dengan 10.000 siswa berpartisipasi. PISA mengklasifikasi pencapaian siswa dalam berbagai tingkatan, yaitu lima untuk membaca dan masing-masing enam untuk matematika dan sains. Kemampuan membaca pada tingkatan lima mencakup: kemampuan menemukan dan menggunakan informasi yang sulit didapat dalam wacana yang asing. Pada tingkatan satu, siswa dapat menemukan sepotong informasi, mengidentifikasi tema utama suatu wacana, atau membuat kaitan sederhana dengan pengetahuan sehari-hari. Dalam hal membaca, siswa Indonesia, 0,1% mencapai tingkat lima, hampir 60% berada pada tingkatan satu ke bawah, termasuk 21,8% di bawah tingkatan satu.
Kita dapat berpolemik dalam “menghakimi” apakah pengajaran sebuah bahasa sudah berhasil atau tidak. Namun apapun motifnya, refleksi terhadap pengajaran bahasa selama ini tentu lebih berguna daripada membiarkan semua yang telah kita perbuat tanpa ada kritisi dan koreksi. Hal ini terjadi bukan pada mata pelajaran bhs Indonesia saja, namun mata pelajaran lain yang kegagalannya nyaris sama.
Pengajaran bahasa dilakukan dalam rangka melahirkan pembelajar-pembelajar yang memahami bagaimana tugas belajar sehingga mereka dapat belajar secara baik. Namun demikian, menurut Harmer (1998) membelajarkan para siswa bukan pekerjaan mudah, banyak kesulitan yang ditemui pembelajar, baik dipengaruhi faktor bagaimana pengalaman belajar para siswa, bagaimana keadaan mereka diruang kelas, bagaimana variasi metode yang digunakan untuk menangani siswa yang berbeda, masing-masing siswa mempunyai keunikan dalam proses pembelajaran.
Tugas guru tidak mudah, dia tidak hanya menyampaikan atau mentransfer materi ajar kepada para siswanya. Ada juga tugas yang lebih utama, yakni membangun pribadi pembelajaran yang memahami bagaimana dia harus belajar. Pembelajaran bahasa Indonesia yang baik akan memetakan seluruh potensi agar ia sukses belajar. Hamer(1998:8) menyebutkan bahwa seorang guru bahasa hendaknya menjadi penebar inspirasi dan menjadi oxase di tengah kekeringan semangat para siswanya.
Secara detail Harmer (1998:10) menerjemahkan secara rinci karakter pembelajaran yang baik berikut ini.
1.      Memiliki kemauan untuk mendengar (a willingness to listen)
2.      Memiliki kemauan untuk mencoba (a willingness to experiment)
3.      Memiliki kemauan untuk bertanya (a willingness to ask questions)
4.      Memiliki kemauan untuk berfikir tentang cara belajar (a willingness to think about how to learn)
5.      Memiliki kemauan untuk menerima perbaikan (a willingness to accept correction)
Karakteristik harusnya dimiliki oleh pembelajar bahasa apabila ia menghendaki kesuksesan dalam belajar bahasa.
Metodologi Pengajaran Bahasa
Pembelajaran bahasa dari waktu ke waktu mengalami perkembangan, baik dalam aspek model, pendekatan, metode, strategi, kurikulum, dan sistem evaluasi. Pembelajaran bahasa juga memadukan antara teori dan praktik. Dalam perkembanganya, menurut Stern(1992:11) muncul dua teori mutakhir, yakni teori eklektik (eclecticism) dan teori pembelajaran komunikatif. Kompetensi komunikatif terdiri atas kompetensi gramatikal, kompetensi wacana, kompetensi fungsional, kompetensi sosiolinguistik, dan kompetensi strategis. Kedua hal ini disandarkan pada argumen bahwa tujuan pembelajaran bahasa agar siswa mampu berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis.
Berkaitan dengan pentingnya ruang kreatif, metodologi pembelajaran bahasa yang diyakini para guru, baik dalam bentuk model, pendekatan, metode, dan strategi  hendaknya dipilih  yang mempertimbangkan aspek ruang kreatif dan tersedianya kesempatan para siswa untuk berkreatifitas dalam berbahasa. Pembelajaran bahasa kreatif menekankan keterlibatan siswa secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran di dorong untuk menemukan/ mengkonstruksi sendiri konsep yang sedang dikaji melalui penafsiran yang dilakukan dengan berbagai cara, seperti observasi, diskusi, atau percobaan yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanggung jawav menyelesaikan tugas bersama.
Pembelajaran kreatif merupakan model yang dikembangkan dengan mengacu pada berbagai pendekatan pembelajaran yang diasumsikan mampu meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. Pendekatan tersebut: belajar aktif, kreatif, konstruktif, kolaboratif dan kooperatif. Karakteristik penting dari setiap pendekatan tersebut diintegrasikan sehingga menghasilkan satu model yang memungkinkan siswa mengembangkan kreativitas untuk menghasilkan produk yang bersumber dari pemahaman mereka terhadap konsep yg sedang dikaji.
Pada dasarnya, kegiatan pembelajaran kreatif dibagi menjadi empat langkah yaitu orientasi, eksplorasi, interpretasi, dan re-kreasi. Selain itu, terdapat pendekatan pengajaran bahasa kontekstual, yakni pendekatan yang mengaitkan pengajaran bahasa dengan pengetahuan, pengalaman, dan masalah-masalah keseharian yang dihadapi siswa. Pendekatan kontekstual mengandung tujuh pilar utama, yaitu konstruktivisme, inquiri, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian autentik(Nurhadi dkk., 2003:31). Pendekatan kontekstual memungkinkan pengajaran bahasa memiliki makna (meaningfull) dan dirasakan kebermanfaatanya dalam kehidupan para siswa.
Di samping itu, inti pengajaran bahasa Indonesia di Sekolah sebagaimana diamanatkan dalam kurikulum 2006 adalah memberikan pengalaman komunikasi secara alamiah. Kurikulum bahasa Indonesia juga memberikan arah bahwa pembelajaran bahasa hendaknya berbasis wacana. Kemahiran wacana menjadi sangat penting mengingat perkembangan pembelajaran bahasa di berbagai belahan dunia mengarah pada peletakkan wacana sebagai posisi sentral.
Pendekatan yang lainya adalah pendekatan kooperatif. Alasan penting mengapa metode kooperatif dikembangkan (Slavin, 2008:5) adalah bahwa para pendidik dan ilmuan sosial telah lama mengetahui tentang pengaruh yang merusak dari persaingan yang sering digunakan di dalam kelas. Sekalipun persaingan tersebut bukan sesuatu yang salah, namun apabila tidak dijalankan dengan menajem yang baik, persaingan akan menjadi motivator yang buruk. Pada pembelajaran kooperatif para siswa akan dudukmbersama dalam kelompok yang beranggotakan beberapa orang untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Sehingga akan bermanfaat bagi mereka sebagai anggota masyarakat.
Beberapa metode pembelajaran yang termasuk dalam pembelajaran kooperatif adalah pembelajarab tim siswa yang dikembangkan oleh John Hopkins University (Slaving, 2008:10). Tiga konsep penting dalam PTS adalah penghargaan bagi tim, tanggung jawab indovidu, dan kesempatan sukses yang sama. Tiga dari lima prinsip dasar PTS dapat diadaptasikan  dalan semua mata pelajaran dan jenjang kelas, yakni STAD, TGT, Teka-Teki II. Dua prinsip lainya dirancang untuk digunakan pada pelajaran khusus dan kelas tertentu, yakni CIRC untuk pembelajaran bahasa dan TAI untuk pembelajaran matematika (Slaving,2008:11)
Dalam STAD tim belajar terdiri dari empat orang berbeda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan katar belakang etnik. Gagasan utama STAD adalah untuk memotivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru. TGT pada mulanya dikembangkan David DeVries dan Keith Edward. Metode ini menggunakan pelajaran yang sama yang dikembangkan guru dan tim kerja yang sama seperti STAD, tetapi menggantikan kuis dengan turnamen mingguan.
Zigsaw II adalah adaptasi dari teknik teka-teki Elliot Aronson (1978). Dalam teknik ini siswa bekerja sama dengan anggota kelompok yang sama. Yaitu empat orang yang berlatar belakang yang berbeda. Para siswa ditugasi untuk membaca bab, buku kecil, dan materi lain. TAI memungkinkan para siswa memasuki sekuen individual berdasarkan penempatan tes dan melanjutkannya dengan tingkat kemampuan mereka sendiri. CIRC merupakan program kompherensif untuk mengajarkan membaca dan menulis pada kelas sekolah dasar pada tingkat lebih tinggi.
Metode pembelajaran kooperatif yang lainya adalah group investigation yang dikembangkan oleh shlomo dan Yael Sharon dari Universitas tel Aviv, Learning Together dari David dan Roger Johnson dari Universitas Minnesote, Compleks Intruction dari elizabeth Cohen dari Universitas Standford dan Stucture Dyadic Methods. Tipologi pembelajaran kooperatif yaitu tujuan kelompok. Tanggung jawab individual, kesempatan sukses yang sama, kompetensi tim, spesialisasi tugas dan adaptasi terhadap kebutuhan kelompok.
Kini juga berkembang metodologi pegajaran bahasa yang menekankan pada kecakapan hidup. Beberapa ahli menyebutkan bahwa pengajaran bahasa harus mendorong para siswa mengembangkan kecakapan dapat menjawab kebutuhan hidup di masa mendatang. Kecakapan hidup yang dimaksud meliputi general skill dan specific skill.
Brown (2001) menyebutkan bahwa hal tersulit yang dialami seorang pengajar bahasa adalah menemukan strategi yang tepat agar siswa sukses belajar. Oleh karena itu seorang guru harus memahami model, pendekatan, metode dan teknik dalam pembelajaran bahasa.
Brown (2001) mengidentifikasi beberapa pendekatan bahasa yang sudah sejak lama dipakai dalam pengajaran bahasa.
1.      Metode penerjemahan
2.      Metode seri
3.      Metode langsung
4.      Metode audiolingual
Disamping itu di identifikasikan beberapa metode yang lebih menekankan pada aspek kognitif. Metode-metode tersebut adalah sebagai berikut.
1.      Community language learning
2.      Suggestopedia
3.      The silent way
4.      Total physical response
5.      The natural approach
Dalam realisasi pembelanjaran bahasa, Brown (2001: 55-68) menyodorkan beberapa prinsip yang secara umum dikelompokan menjadi tiga kelompok besar yakni prinsip-prinsip kognitif, prinsip-prinsip afektif dan prinsif-prinsif linguistik. Prinsip-prinsip yang ditawarkan Brown (2001) yang tergolong dalam kelompok prinsip kognitif adalah keotomatisan, pembelajaran yang bermakna, penyiapan penghargaan, motivasi instrinsik, investasi strategis. Prinsip afektif menyodorkan prinsip pengajaran bahasa: ego bahasa, kepercayaan diri, menanggung risiko. Sementara itu prinsip linguistik menyodorkan prinsip pengajaran bahasa: efek bahasa ibu, antarbahasa, dan kompetensi komunikatif.







Like the Post? Do share with your Friends.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IconIconIconFollow Me on Pinterest

Blogroll